LATAR BELAKANG SEJARAH
Penetrasi Teknologi Informasi (TI) dalam berbagai
disiplin ilmu telah melipatgandakan perkembangan ilmu bersangkutan. Berbagai
kajian baru bermunculan, sejalan dengan perkembangan TI itu sendiri dan
disiplin ilmu yang didukungnya. Aplikasi TI dalam bidang biologi molekul telah
melahirkan bidang Bioinformatika. Kajian ini semakin penting, sebab
perkembangannya telah mendorong kemajuan bioteknologi di satu sisi, dan pada
sisi lain memberi efek domino pada bidang kedokteran, farmasi, lingkungan dan
lainnya.
Kajian baru Bioinformatika ini tak lepas dari
perkembangan biologi molekul modern yang ditandai dengan kemampuan manusia
untuk memahami genom, yaitu cetak biru informasi genetik yang menentukan sifat
setiap makhluk hidup yang disandi dalam bentuk pita molekul DNA (asam deoksiribonukleat).
Kemampuan untuk memahami dan memanipulasi kode genetik DNA ini sangat didukung
oleh TI melalui perangkat perangkat keras maupun lunak. Hal ini bisa dilihat
pada upaya Celera Genomics, perusahaan bioteknologi Amerika Serikat yang
melakukan pembacaan sekuen genom manusia yang secara maksimal memanfaatkan TI
sehingga bisa melakukan pekerjaannya dalam waktu yang singkat (hanya beberapa
tahun), dibanding usaha konsorsium lembaga riset publik AS, Eropa, dan
lain-lain, yang memakan waktu lebih dari 10 tahun.
Kelahiran Bioinformatika modern tak lepas dari
perkembangan bioteknologi di era tahun 70-an, dimana seorang ilmuwan AS
melakukan inovasi dalam mengembangkan teknologi DNA rekombinan. Berkat penemuan
ini lahirlah perusahaan bioteknologi pertama di dunia, yaitu Genentech di AS,
yang kemudian memproduksi protein hormone insulin dalam bakteri, yang
dibutuhkan penderita diabetes. Selama ini insulin hanya bias didapatkan dalam
jumlah sangat terbatas dari organ pankreas sapi.
Bioteknologi modern ditandai dengan kemampuan pada
manipulasi DNA. Rantai/sekuen DNA yang mengkode protein disebut gen. Gen
ditranskripsikan menjadi mRNA, kemudian mRNA ditranslasikan menjadi protein.
Protein sebagai produk akhir bertugas menunjang seluruh proses kehidupan,
antara lain sebagai katalis reaksi biokimia dalam tubuh (disebut enzim),
berperan serta dalam sistem pertahanan tubuh melawan virus, parasit dan
lain-lain (disebut antibodi), menyusun struktur tubuh dari ujung kaki (otot
terbentuk dari protein actin, myosin, dan sebagainya) sampai ujung rambut
(rambut tersusun dari protein keratin), dan lain-lain. Arus informasi, DNA
-> RNA -> Protein, inilah yang disebut sentral dogma dalam biologi
molekul.
Sekuen DNA satu organisme, yaitu pada sejenis virus
yang memiliki kurang lebih 5.000 nukleotida/molekul DNA atau sekitar 11 gen,
berhasil dibaca secara menyeluruh pada tahun 1977. Sekuen seluruh DNA manusia
terdiri dari 3 milyar nukleotida yang menyusun 100.000 gen dapat dipetakan
dalam waktu 3 tahun. Saat ini terdapat milyaran data nukleotida yang tersimpan
dalam database DNA, GenBank di AS yang didirikan tahun 1982. Di Indonesia, ada
Lembaga Biologi Molekul Eijkman yang terletak di Jakarta. Di sini kita bisa
membaca sekuen sekitar 500 nukleotida hanya dengan membayar $15. Trend yang
sama juga nampak pada database lain seperti database sekuen asam amino penyusun
protein, database struktur 3D protein, dan sebagainya. Inovasi teknologi DNA
chip yang dipelopori oleh perusahaan bioteknologi AS, Affymetrix di Silicon
Valley telah mendorong munculnya database baru mengenai RNA.
Desakan kebutuhan untuk mengumpulkan, menyimpan dan
menganalisa data-data biologis dari database DNA, RNA maupun protein inilah
yang semakin memacu perkembangan kajian Bioinformatika.
CONTOH
PENERAPAN DAN PENGGUNAAN
1.
Bioinformatika dalam Bidang Klinis
Bioinformatika dalam bidang klinis sering disebut
sebagai informatika klinis (clinical informatics). Aplikasi dari
informatika klinis ini berbentuk manajemen data-data klinis dari pasien melalui
Electrical Medical Record (EMR) yang dikembangkan oleh Clement J.
McDonald dari Indiana University School of Medicine pada tahun 1972. McDonald
pertama kali mengaplikasikan EMR pada 33 orang pasien penyakit gula (diabetes).
Sekarang EMR ini telah diaplikasikan pada berbagai penyakit. Data yang disimpan
meliputi data analisa diagnosa laboratorium, hasil konsultasi dan saran, foto rontgen,
ukuran detak jantung, dan lain lain. Dengan data ini dokter akan bias menentukan
obat yang sesuai dengan kondisi pasien tertentu dan lebih jauh lagi, dengan dibacanya
genom manusia, akan memungkinkan untuk mengetahui penyakit genetic seseorang,
sehingga penanganan terhadap pasien menjadi lebih akurat.
2.
Bioinformatika untuk Identifikasi Agent Penyakit Baru
Bioinformatika juga menyediakan tool yang
sangat penting untuk identifikasi agent penyakit yang belum dikenal
penyebabnya. Banyak sekali penyakit baru yang muncul dalam dekade ini, dan
diantaranya yang masih hangat adalah SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome).
Pada awalnya, penyakit ini diperkirakan disebabkan
oleh virus influenza karena gejalanya mirip dengan gejala pengidap influenza.
Akan tetapi ternyata dugaan ini salah karena virus influenza tidak terisolasi
dari pasien. Perkirakan lain penyakit ini disebabkan oleh bakteri Candida karena
bakteri ini terisolasi dari beberapa pasien. Tapi perkiraan ini juga salah.
Akhirnya ditemukan bahwa dari sebagian besar pasien SARS terisolasi virus Corona
jika dilihat dari morfologinya. Sekuen genom virus ini kemudian dibaca dan
dari hasil analisa dikonfirmasikan bahwa penyebab SARS adalah virus Corona yang
telah berubah (mutasi) dari virus Corona yang ada selama ini.
Dalam rentetan proses ini, Bioinformatika memegang
peranan penting. Pertama pada proses pembacaan genom virus Corona.
Karena di database seperti GenBank, EMBL (European Molecular Biology
Laboratory), dan DDBJ (DNA Data Bank of Japan) sudah tersedia data sekuen
beberapa virus Corona, yang bisa digunakan untuk mendisain primer yang
digunakan untuk amplifikasi DNA virus SARS ini. Software untuk mendisain primer
juga tersedia, baik yang gratis maupun yang komersial. Contoh yang gratis
adalah Webprimer yang disediakan oleh Stanford Genomic Resources
(http://genome-www2.stanford.edu/cgi-bin/SGD/web-primer),
GeneWalker yang disediakan oleh Cybergene AB
(http://www.cybergene.se/primerdisain/genewalker), dan lain sebagainya. Untuk
yang komersial ada Primer Disainer yang dikembangkan oleh Scientific
& Education Software, dan software-software untuk analisa DNA lainnya seperti
Sequencher (GeneCodes Corp.), SeqMan II (DNA STAR Inc.), Genetyx
(GENETYX Corp.), DNASIS (HITACHI Software), dan lain lain.
Kedua pada proses mencari kemiripan sekuen (homology
alignment) virus yang didapatkan dengan virus lainnya. Dari hasil analisa
virus SARS diketahui bahwa genom virus Corona penyebab SARS berbeda
dengan virus Corona lainnya. Perbedaan ini diketahui dengan menggunakan homology
alignment dari sekuen virus SARS. Selanjutnya, Bioinformatika juga
berfungsi untuk analisa posisi sejauh mana suatu virus berbeda dengan virus
lainnya.
3.
Bioinformatika untuk Diagnosa Penyakit Baru
Untuk menangani penyakit baru diperlukan diagnosa
yang akurat sehingga dapat dibedakan dengan penyakit lain. Diagnosa yang akurat
ini sangat diperlukan untuk pemberian obat dan perawatan yang tepat bagi
pasien.
Ada beberapa cara untuk mendiagnosa suatu penyakit,
antara lain: isolasi agent penyebab penyakit tersebut dan analisa
morfologinya, deteksi antibodi yang dihasilkan dari infeksi dengan
teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan deteksi gen dari
agent pembawa penyakit tersebut dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Teknik yang banyak dan lazim dipakai saat ini adalah
teknik PCR. Teknik ini sederhana, praktis dan cepat. Yang penting dalam teknik
PCR adalah disain primer untuk amplifikasi DNA, yang memerlukan data sekuen
dari genom agent yang bersangkutan dan software seperti yang telah
diuraikan di atas. Disinilah Bioinformatika memainkan peranannya. Untuk agent
yang mempunyai genom RNA, harus dilakukan reverse transcription (proses
sintesa DNA dari RNA) terlebih dahulu dengan menggunakan enzim reverse
transcriptase. Setelah DNA diperoleh baru dilakukan PCR. Reverse transcription
dan PCR ini bisa dilakukan sekaligus dan biasanya dinamakan RT-PCR.
Teknik PCR ini bersifat kualitatif, oleh sebab itu
sejak beberapa tahun yang lalu dikembangkan teknik lain, yaitu Real Time PCR
yang bersifat kuantitatif. Dari hasil Real Time PCR ini bisa
ditentukan kuantitas suatu agent di dalam tubuh seseorang, sehingga bisa
dievaluasi tingkat emergensinya. Pada Real Time PCR ini selain primer
diperlukan probe yang harus didisain sesuai dengan sekuen agent yang
bersangkutan. Di sini juga diperlukan software atau program Bioinformatika.
4.
Bioinformatika untuk Penemuan Obat
Cara untuk menemukan obat biasanya dilakukan dengan
menemukan zat/senyawa yang dapat menekan perkembangbiakan suatu agent penyebab
penyakit. Karena perkembangbiakan agent tersebut dipengaruhi oleh banyak
faktor, maka faktor-faktor inilah yang dijadikan target. Diantaranya adalah
enzim-enzim yang diperlukan untuk perkembangbiakan suatu agent Mula-mula
yang harus dilakukan adalah analisa struktur dan fungsi enzim-enzim tersebut.
Kemudian mencari atau mensintesa zat/senyawa yang dapat menekan fungsi dari
enzim-enzim tersebut.
Analisa struktur dan fungsi enzim ini dilakukan
dengan cara mengganti asam amino tertentu dan menguji efeknya. Analisa
penggantian asam amino ini dahulu dilakukan secara random sehingga
memerlukan waktu yang lama. Setelah Bioinformatika berkembang, data-data
protein yang sudah dianalisa bebas diakses oleh siapapun, baik data sekuen asam
amino-nya seperti yang ada di SWISS-PROT (http://www.ebi.ac.uk/swissprot/)
maupun struktur 3D-nya yang tersedia di Protein Data Bank (PDB)
(http://www.rcsb.org/pdb/). Dengan database yang tersedia ini, enzim yang baru
ditemukan dapat dibandingkan sekuen asam amino-nya, sehingga bisa diperkirakan asam
amino yang berperan untuk aktivitas (active site) dan kestabilan enzim
tersebut.
Setelah asam amino yang berperan sebagai active
site dan kestabilan enzim tersebut ditemukan, kemudian dicari atau disintesa
senyawa yang dapat berinteraksi dengan asam amino tersebut. Dengan data yang
ada di PDB, maka dapat dilihat struktur 3D suatu enzim termasuk active site-nya,
sehingga bisa diperkirakan bentuk senyawa yang akan berinteraksi dengan active
site tersebut. Dengan demikian, kita cukup mensintesa senyawa yang
diperkirakan akan berinteraksi, sehingga obat terhadap suatu penyakit akan jauh
lebih cepat ditemukan. Cara ini dinamakan “docking” dan telah banyak
digunakan oleh perusahaan farmasi untuk penemuan obat baru.
Meskipun dengan Bioinformatika ini dapat
diperkirakan senyawa yang berinteraksi dan menekan fungsi suatu enzim, namun
hasilnya harus dikonfirmasi dahulu melalui eksperimen di laboratorium. Akan
tetapi dengan Bioinformatika, semua proses ini bisa dilakukan lebih cepat
sehingga lebih efisien baik dari segi waktu maupun finansial.
Tahun 1997, Ian Wilmut dari Roslin Institute dan PPL
Therapeutics Ltd, Edinburgh, Skotlandia, berhasil mengklon gen manusia yang
menghasilkan faktor IX (faktor pembekuan darah), dan memasukkan ke kromosom biri-biri.
Diharapkan biri-biri yang selnya mengandung gen manusia faktor IX akan
menghasilkan susu yang mengandung faktor pembekuan darah. Jika berhasil
diproduksi dalam jumlah banyak maka faktor IX yang diisolasi dari susu harganya
bisa lebih murah untuk membantu para penderita hemofilia.
Referensi:
http://kambing.ui.ac.id/bebas/v06/Kuliah/SistemOperasi/2003/50/Bioinformatika.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Bioinformatika










